Senin, 10 Januari 2011

PERAN KELUARGA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER

Berangkat dari sebuah hipotesis bahwa untuk merubah sesuatu yang besar, berawal dari yang kecil. Demikian pula untuk merubah suatu negara perlu dimulai dari keluarga. Mau tidak mau semua orang tumbuh dan dibesarkan dari keluarga masing-masing, entah itu sanak famili ataupun orang lain yang dianggap keluarga. Jika keluarga kita bermasalah, maka otomatis akan membawa dampak bagi kehidupan seseorang, terlepas apakah dampak yang ditimbulkan tersebut negatif ataupun positif, dan biasanya berdampak negatif. Seorang presiden, seorang ulama, seorang wakil rakyat atau anggota DPR, seorang pencuri, seorang koruptor, ataukah seorang pelacur, kesemua itu terjadi berawal dari pendidikan keluarga yang diharapkan bisa menjadi bekal disaat menjadi \'orang\' nanti. Dari fakta-fakta yang sudah ada, maka betapa besar peran keluarga dalam pembentukan diri dan pengembangan perilaku positif oleh setiap orang dikala ia sudah mulai bersosialisasi dengan masyarakat atau lingkungannya kelak.

Peran Seorang Ibu Banyak anak-anak yang sukses melewati tahap-tahap perkembangannya hingga secara otomatis membanggakan bagi setiap orang tua. Meskipun banyak halang rintang yang musti dilewati dan pasti melibatkan anggota keluarga untuk menggapai kesuksesan tersebut. Pada intinya dari kesemua itu yang sangat berpengaruh adalah peran seorang ibu terhadapnya. Sukses atau tidaknya seseorang yang menentukan adalah dirinya sendiri, tergantung kemampuan dan integritasnya setelah sekian lama menjalani hidup. Namun tidak ada suatu kesadaran yang akan meningkatkan integritas diri seseorang tanpa partisipasi seorang ibu dimasa ia memerlukan didikan.

"Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya." Mulai sejak lahir bahkan masih dalam kandunganpun, seorang ibu sudah memberikan didikan bagi Sang buah hatinya, namun kebanyakan mereka tidak menyadari. Dalam hal ini penekanananya adalah peran seorang ibu, tentunya tidak mengesampingkan peran seorang ayah dalam sebuah keluarga. Karena begitu pentingnya peran seorang ibu dalam keluarga, maka seorang ibu harus memiliki ilmu ekstra atau tambahan jam belajar demi kesejahteraan keluarganya. Tidak ada istilah terlambat untuk belajar bagi setiap manusia, meskipun usianya sudah lanjut atau tubuhnya sudah bau tanah. Karena masalah yang akan kita hadapi semakin banyak dan kompleks, jika kemampuan kita kalah cepat dengan laju masalah yang muncul, maka bisa dipastikan kita akan menemui kesulitan dalam hidup. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ilmu adalah harta yang paling berharga. Mungkin banyak ibu-ibu yang memiliki status pendidikan yang rendah, bahkan belum pernah sama sekali mengenyam bangku sekolah. Berdasarkan sabda Rosulullah, "Carilah ilmu dari sejak berada dalam ayunan hingga masuk ke liang lahat." Jadi, semua itu tidak bisa kita jadikan sebagai alasan untuk tidak belajar. Jika kita dihadapkan dengan suatu fenomena, jaman semakin maju, pengaruh arus globalisasi semakin deras, hingga tidak jarang semua itu memberikan kontribusi yang negatif pada anak-anak jaman sekarang, apa yang bisa kita lakukan? Padahal Allah hanya akan memberi sesuai dengan apa yang kita usahakan. Kalau kita tidak terampil dalam usaha, bagaimana kita bisa mendapatkan. Dan salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan kita adalah belajar.

Kembali ke konsep awal, bahwa sorang ibu berperan dalam mendidik anak-anaknya. Melihat arus perkembangan jaman yang semakin \'edan\' apabila seorang ibu tidak membekali anak-anaknya untuk menghadapi pengaruh tersebut, maka anaknya akan terseret arus dan lama kelamaan akan terpisah dengannya. Tentu semua ibu tidak mau hal yang demikian terjadi pada keluarganya. Karena bagaimanapun, seorang ibu akan tetap menyayangi anaknya. Sebagaimana dalam peribahasa, \'Kasih sayang ibu sepanjang jalan, kasih sayang anak sepanjang galah.\' Betulkah peribahasa tersebut? Yang bisa menjawab adalah waktu. Berdasarkan observasi penulis, ada beberapa ibu yang mengeluh tentang sulitnya mengatur anak dijaman sekarang. Keluhan itu mungkin hanya sebatas keluhan, jika tanpa ada suatu tindakan untuk ditindaklanjuti. Tidak jarang kita jumpai seorang ibu yang termakan hatinya oleh anaknya sendiri. Memang kita tidak bisa menyalahkan perkembangan jaman atau mengerem perubahan lingkungan, namun kita mampu meningkatkan keterampilan untuk mencari pegangan agar bisa bertahan. Alangkah baiknya jika kita memperbanyak input ilmu untuk meningkatkan kemampuan dengan menambah frekuensi belajar kita. Ilmu tidak hanya didapat dari buku, melainkan bisa didapat dari berbagai sumber, misalkan radio, majalah termasuk pengalaman dan semua apa yang bisa kita lihat, dengar, rasa, cium dan kita raba bisa kita jadikan pelajaran atau sumber ilmu. Dengan bekal ilmu yang memadai InsyaAllah tidak akan terlalu banyak makan hati. Namun ada kalanya seorang ibu mempunyai tabiat egois dan arogan, sehingga tidak menghiraukan masukan, saran dari pihak lain. Merasa bahwa dirinya sudah berpengalaman dalam berumah tangga, sehingga tidak mau belajar dalam menghadapai masalah-masalah yang muncul. Ditambah dengan kesensitifitasannya yang menjadikannya mudah marah terhadap sesuatu yang sekiranya tidak ia suka. Memang itulah manusia, dimana antara satu dengan yang lain tidak bisa disamaratakan, masing-masing mempunyai karakter berbeda. Namun semua itu akan menjadikan tempaan bagi kita dan ladang amal bagi kita untuk bekal diakhirat.

Peran Seorang Ayah Tentunya mendidik anak tidak bisa dibebankan pada seorang ibu semata. Dalam suatu sistem membutuhkan seorang pimpinan. Karena tidak ada jamaah tanpa pimpinan, dan tidak ada pimpinan jika tidak ada ketaataan. Jadi kembali lagi pada peran seorang ayah dalam keluarga. Seorang ayah dimana bertindak sebagai pemimpin keluarga telah dipesan oleh Allah dalam firmanNya dalam QS At-tahrim 6, “…Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” Memang seorang ayah harus bisa merangkul seluruh keluarganya dan mampu mempertahankan diri dari arus perkembangan jaman yang semakin lama tidak sesuai dengan tuntunan. Semakin kuat memegang, semakin tidak bisa diombang-ambingkan dan pegangan yang paling bisa diandalkan dan selalu sesuai dengan perkembangan jaman adalah Al-Qur\'an. Figur seorang pimpinan harus tegas. Tegas bukan berarti keras, namun dilandasi dengan penuh kasih sayang dan ada konsekunsi dalam setiap tindakan yang ia lakukan. Dalam mendidik anak perlu konsekuansi dan konsisten agar dalam diri anak tertanam suatu pemahaman terhadap suatu makna kehidupan, meskipun baru semacam \'behavior\' (tingkah laku) atau imitasi, belum berdasarkan pemahaman (tingkat kognitif). Ketegasan yang ada pada figur seorang ayah dapat ditunjukkan dengan amar ma\'ruf nahi munkar, saling tawassau antar sesama anggota keluarga. Itulah salah satu bentuk hakikat kasih sayang yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin keluarga. Ia akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memelihara keluarganya agar terhindar dari azab Allah. Jika telah terjadi seperti anak tidak menurut pada orang tua ketika beranjak dewasa, maka orang tua perlu evaluasi diri. Apakah didikan yang diberikannya selama ini sudah benar? Karena sesungguhnya kebaikan yang ada pada kita datangnya dari Allah, dan keburukan yang menimpa kita pada hakikatnya dari kita sendiri. Oleh karena itu, pentingnya evaluasi diri untuk meningkatkan keterampilan kita agar tetap eksis dalam kehidupan. Mungkin perlu digarisbawahi bahwa masalah yang sebenarnya adalah kurangnya kesadaran untuk meningkatkan kemampuan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar